rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Senin, 23 Agustus 2010

MULLAH NASRUDDIN DAN MURID-MURIDNYA

Mimpi Relijius

Nasrudin sedang dalam perjalanan dengan pastur dan yogi. Pada hari kesekian, bekal mereka tinggal sepotong kecil roti. Masing-masing merasa berhak memakan roti itu. Setelah debat seru, akhirnya mereka bersepakat memberikan roti itu kepada yang malam itu memperoleh mimpi paling relijius. Tidurlah mereka.

Pagi harinya, saat bangun, pastur bercerita: "Aku bermimpi melihat kristus membuat tanda salib. Itu adalah tanda yang istimewa sekali."

Yogi menukas, "Itu memang istimewa. Tapi aku bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan menemui tempat paling damai."

Nasrudin berkata, "Aku bermimpi sedang kelaparan di tengah gurun, dan tampak bayangan nabi Khidir bersabda 'Kalau engkau lapar, makanlah roti itu.' Jadi aku langsung bangun dan memakan roti itu saat itu juga."



Konsisten

Berapa umurmu, Nasrudin ?"

"Empat puluh tahun."

"Tapi beberapa tahun yang lalu, kau menyebut angka yang sama."

"Aku konsisten."

Tampak Seperti Wujudmu

Nasrudin sedang merenungi harmoni alam, dan kebesaran Penciptanya.

"Oh kasih yang agung. Seluruh diriku terselimuti oleh-Mu.Segala yang tampak oleh mataku.Tampak seperti wujud-Mu."

Seorang tukang melucu menggodanya, "Bagaimana jika ada orang jelek dan dungu lewat di depan matamu ?"

Nasrudin berbalik, menatapnya, dan menjawab dengan konsisten:
"Tampak seperti wujudmu."

Belajar Kebijakan

Seorang darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari Nasrudin. Nasrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan hanya bisa dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia menemani Nasrudin dan melihat perilakunya.

Malam itu Nasrudin menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. "Mengapa api itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih panas dan lebih besar apinya," jawab Nasrudin.

Setelah api besar, Nasrudin memasak sop. Sop menjadi panas. Nasrudin menuangkannya ke dalam dua mangkok. Ia mengambil mangkoknya, kemudian meniup-niup sonya.

"Mengapa sop itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih dingin dan enak dimakan," jawab Nasrudin.

"Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus si darwis, "Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu."

Ah, konsistensi.
Bahasa Kurdi

Tetangga Nasrudin ingin belajar bahasa Kurdi. Maka ia minta diajari Nasrudin. Sebetulnya Nasrudin juga belum bisa bahasa Kurdi selain beberapa patah kata. Tapi karena tetangganya memaksa, ia pun akhirnya bersedia.

"Kita mulai dengan sop panas. Dalam bahasa Kurdi, itu namanya Aash."

"Bagaimana dengan sop dingin ?"

"Hemm. Perlu diketahui bahwa orang Kurdi tidak pernah membiarkan sop jadi dingin. Jadi engkau tidak akan pernah mengatakan sop dingin dalam bahasa Kurdi."

Harga Kebenaran

Seperti biasanya, Nasrudin memberikan pengajaran di mimbar. "Kebenaran," ujarnya "adalah sesuatu yang berharga. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material."

Seorang murid bertanya, "Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran ? Kadang-kadang mahal pula ?"

"Kalau engkau perhatikan," sahut Nasrudin, "Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia."

Keberhasilan yang Terhebat

Salah seorang murid Nasrudin di sekolah bertanya, "Manakah keberhasilan yang paling besar: orang yang bisa menundukkan sebuah kerajaan, orang yang bisa tetapi tidak mau, atau orang yang mencegah orang lain melakukan hal itu ?"

"Nampaknya ada tugas yang lebih sulit daripada ketiganya," kata Nasruddin.

"Apa itu?"

"Mencoba mengajar engkau untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya." 

Harmoni Buah-buahan

Nasrudin bersantai di bawah pohon arbei di kebunnya. Dilihatnya seluruh kebun, terutama tanaman labu yang mulai berbuah besar-besar dan ranum. Seperti biasa, Nasrudin merenung.

"Aku heran, apa sebabnya pohon arbei sebesar ini hanya bisa menghasilkan buah yang kecil. Padahal, labu yang merambat dan mudah patah saja bisa menghasilkan buah yang besar-besar."

Angin kecil bertiup. Ranting arbei bergerak dan saling bergesekan. Sebiji buah arbei jatuh tepat di kepala Nasrudin yang sedang tidak bersorban.

"Ah. Kurasa aku tahu sebabnya." 

Membedakan Jenis Kelamin

Seorang tetangga Nasrudin telah lama bepergian ke negeri jauh. Ketika pulang, ia menceritakan pengalaman-pengalamannya yang aneh di negeri orang.

"Kau tahu," katanya pada Nasrudin, "Ada sebuah negeri yang aneh. Di sana udaranya panas bukan main sehingga tak seorangpun yang mau memakai pakaian, baik lelaki maupun perempuan."

Nasrudin senang dengan lelucon itu. Katanya, "Kalau begitu, bagaimana cara kita membedakan mana orang yang lelaki dan mana yang perempuan?" 

Api

Hari Jum`at itu, Nasrudin menjadi imam Shalat Jum`at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang Mullah,

"Api ! Api ! Api !"

Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya,

"Dimana apinya, Mullah ?"

Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,

"Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."


0 komentar:

Posting Komentar