rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Senin, 23 Agustus 2010

MULLAH NASRUDDIN DAN HAKIM

Teori Kebutuhan

Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,

"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."

Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."

Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"

Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."

Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"

Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"

Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."

Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."



Penyelundup

Ada kabar angin bahwa Mullah Nasrudin berprofesi juga sebagai penyelundup. Maka setiap melewati batas wilayah, penjaga gerbang menggeledah jubahnya yang berlapis-lapis dengan teliti. Tetapi tidak ada hal yang mencurigakan yang ditemukan. Untuk mengajar, Mullah Nasrudin memang sering harus melintasi batas wilayah.

Suatu malam, salah seorang penjaga mendatangi rumahnya. "Aku tahu, Mullah, engkau penyelundup. Tapi aku menyerah, karena tidak pernah bisa menemukan barang selundupanmu. Sekarang, jawablah penasaranku: apa yang engkau selundupkan ?"

"Jubah," kata Nasrudin, serius.

Tidak Terlalu Dalam

Telah berulang kali Nasrudin mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian. Hakim di desanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangani perjanjian itu. Keadaan ini selalu berulang sehingga Nasrudin menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok. Tapi -- kita tahu -- menyogok itu diharamkan. Maka Nasrudin memutuskan untuk melemparkan keputusan ke si hakim sendiri.

Nasrudin menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan tahi sapi hingga hampir penuh. Kemudian di atasnya, Nasrudin mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya. Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim. Saat itu juga Pak Hakim langsung tidak sibuk, dan punya waktu untuk membubuhi tanda tangan pada perjanjian Nasrudin.

Nasrudin kemudian bertanya, "Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan ?"

Hakim tersenyum lebar. "Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya." Ia mencuil sedikit mentega dan mencicipinya. "Wah, enak benar mentega ini!"

"Yah," jawab Nasrudin, "Sesuai ucapan Tuan sendiri, jangan terlalu dalam." Dan berlalulah Nasrudin.

Tampang itu Perlu

Nasrudin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh.

"Tapi aku mengabdi kepada Allah saja," kata Nasrudin.

"Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah," kata istrinya.

Nasrudin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, "Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Nasrudin. Ia melemparkan seratus keping perak ke kepala Nasrudin. Tapi ia terkejut waktu Nasrudin membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak "Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari Allah."

Sang tetangga menyerbu rumah Nasrudin, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Nasrudin menjawab "Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah."

Tetangganya marah. Ia mengajak Nasrudin menghadap hakim. Nasrudin berkelit, "Aku tidak pantas ke pengadilan dalam keadaan begini. Aku tidak punya kuda dan pakaian bagus. Pasti hakim berprasangka buruk pada orang miskin."

Sang tetangga meminjamkan jubah dan kuda.

Tidak lama kemudian, mereka menghadap hakim. Tetangga Nasrudin segera mengadukan halnya pada hakim.

"Bagaimana pembelaanmu?" tanya hakim pada Nasrudin.

"Tetangga saya ini gila, Tuan," kata Nasrudin.

"Apa buktinya?" tanya hakim.

"Tuan Hakim bisa memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini miliknya. Coba tanyakan misalnya tentang jubah saya dan kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang saya."

Dengan kaget, sang tetangga berteriak, "Tetapi itu semua memang milikku!"

Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus.

Yang Benar-benar Benar

Nasrudin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasrudin berkomentar:

"Aku rasa engkau benar."

Petugas majelis membujuk Nasrudin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri. Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nasrudin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai, Nasrudin kembali berkomentar:

"Aku rasa engkau benar."

Petugas mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah ! Nasrudin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar:

"Aku rasa engkau benar."

Bahasa Burung

Dalam pengembaraannya, Nasrudin singgah di ibukota. Di sana langsung timbul kabar burung bahwa Nasrudin telah menguasai bahasa burung-burung. Raja sendiri akhirnya mendengar kabar itu. Maka dipanggillah Nasrudin ke istana.

Saat itu kebetulan ada seekor burung hantu yang sering berteriak di dekat istana. Bertanyalah raja pada Nasrudin, "Coba katakan, apa yang diucapkan burung hantu itu!"

"Ia mengatakan," kata Nasrudin, "Jika raja tidak berhenti menyengsarakan rakyat, maka kerajaannya akan segera runtuh seperti sarangnya."

0 komentar:

Posting Komentar