rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

Jumat, 03 Juni 2011

TUGAS SEKOLAH : KESENIAN

JAIPONG

Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.

Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.

Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.

Berkembang

Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.

Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).

Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).

Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.
  
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni

CALUNG

Calung''' adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari [[angklung]]. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (''wilahan'', bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) [[pentatonik]] (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari ''awi wulung'' (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari ''awi temen'' (bambu yang berwarna putih).Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.

== Calung Rantay ==
Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.

== Calung Jingjing ==
Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.


== Perkembangan ==
Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.

Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.

PENCAK SILAT

Istilah Pencak silat terdiri dari kata majemuk yaitu Pencak dan Silat walaupun ada yang mengartikan berbeda namun pada umumnya sama yaitu seni beladiri yang tumbuh dan berkembang di Indonesia saat ini Penca silat juga diklaim sebagai beladiri khas Melayu yakni Indonesia Malaysia dan Brunei Darusalam 

Istilah Pencak pada umumnya digunakan oleh masyarakat di Pulau jawa, madura dan Bali. Aliran Pencak Silat yang bersal dari Jawa barat adalah Cimande, Cikalong, sabandar dan sera. Dari aliran tersebut terangkum dalam suatu sistem yang utuh terdiri dari sejarah landasan sosiologis, strategi, taktik dan teknik. benerapa perguruan pencak silat diantaranya Tajimalela, Mande muda, Manderaga, Pager kencana dll. Aliran pencak silat di tatar Sunda terdiri dari : 

Aliran Cimande : Pendiri / pencipta dari aliran ini biasa dipanggil  Ayah kahir sering juga dipanggil embah Kaer/ Eyang Khoer. Sekitar tahun 1760 beliau mulai memperkenalkan kepada murid- muridnya oleh karna itu ia dianggap sebagai pendiri penca silat aliran

Cimande walaupun pada sejarahnya belum terunggkap secara jelas Embah Kaer yang menciptakan jurus- jurus tersebut. Menurut catatan sejarah dalam naskah Kidung Sunda disebutkan bahwa pada jaman Kerjaan Padjajaran sudah terdapat 7 Penca Silat.

Silsilah para tokoh Cimande diantaranya : Embah Kahir, Embang Rangga, Embah Ace Naseha, Embah Haji Abdul Shamad , Embah Haji Idris, Embah Hajo Ajid, Embah haji Zarqasih, Haji Niftah , Haji, R. A Sutisna 

Aliran Cikalong : Sejarah perkembangan aliran Cikalong ( Raden Ateng )  dalah salah satu seorang putra Bupati yang sangat tertarik dengan Pencak Silat yang juga pernah menjadi murid Abah Kahir.Pembinaan fisik dan penggunaan rasa   ekspresi banyak persamaanya hanya penggunaanya yang berbeda pada pencak silat dalah olah tubuh dari rasa yang digunakan berdiri sedangkan tari sebagai media ekspresi melahirkan gerak yang menggunakan keindahan nyang dilahirkan oleh jiwa para seniman . Pencak silat sebagai tari dan sebagai kebutuhan estetika / keindahan seni istilah pencak silat di tatar Sunda dikenal dengan istilah buah dan Eusi dan Kembang / ibing penca . contoh ibing pencak yang bersumber dari beladiri cimande adalah tepak dua salancar ( Cimande Tari kolot) Tepak dua sorongdayung, tepak dua buangkelid, tepak dua kampung baru bdan tarian bersumber pada Cimande . Cimande biasanya dibawakan dengan irama tepak dua temponya ancak ( lambat) namun ada yang beraliran irama Paleredan ibingnya bersumber pada aliran Cikalong yang pada umumnya menggunakan irama tepak tilu temponya cepat ( gancang ).


Tepak tilu Cikalong dan tepak Tilu jalamuka dari aliran tersebut banyak kereografi dari aliran Cimande, Cikalong dan sabandar . Karawitan Penca terdiri dari 2 buah kendang besar dan 2 buah kandang kecil ( kulanter) kendang bertugas mengisi gerak serta mengatur tempo sedangkan terompet sebagai melodi , gong kecil sebagai pengatur irama .

Jenis Irama pada dasarnya ada empat yaitu :
1. Tepak Dua
2. Tepak Tilu
3. Golempang
4. Padungdung
Nama lagu dalam penca Tepak Dua, Kembang Gadung, Ayun Ambing, Polos, Gedong Kulon, Tunggul Kawung, Bata Rubuh, Kidung, Sorong Dayung sedangkan Tepak Tilu Ucing-ucingan, Kembang Beureum, Bardin, Sintren, Papare, Bendrong Petit, Gendu, Kapuk Kapas, Garungan, Joher, Maniang, Kacang Asin Oyong-oyong bangkong, Ciwaringin, Mainang.
Pleredan, Ayun ambing, Bela Pati, Sasalimpetan, Buah Kawung Karawang, Gendu, Gaya, Sari, Kembang Beureum, Padungdung, Banon Dari, Kidung, Koleran, Lengleang, Ceurik Rahmana.
Di Kabupaten Bandung tercatat hampir 38 grup pencak silat yang tersebar ditiap Kecamatan dan desa- desa diantaranya grup Panglipur , Pusaka Sinar muda, sari kencana , Sinar pusaka , mekar kencana , wargi medal , purwa panghegar , galur sawargi , putra kiwari , tali kencana dll. 

KUDA LUMPING

Kuda Lumping adalah seni yang menggunakan kuda-kudaan. Dulu, kuda-kudaan tersebut dibuat dari bilik (anyaman bambu). Menggunakan bahan bilik karena bahan tersebut mudah dikibas-kibaskan untuk memunculkan gerakan meliuk-liuk seperti halnya seekor kuda yang tengah menari.
Seni diiringi oleh musik gamelan dan terkadang oleh musik kendang pencak. Kuda-kudaan tersebut dikenakan oleh seorang pemain di mana prakteknya tak ubahnya dengan seseorang tengah menunggangi seekor kuda, Pemain tersebut menari dengan mngibas-ngibaskan kuda-kudaan dalam iringan musik.


Dipergelarkan di sebuah lapangan. Dalam pergelarannya, seni kuda lumping biasanya terdiri atas lebih dari dua orang pemain. Hal ini diupayakan agar tontonan bisa menarik perhatian, karena dengan diikuti lebih dari dua orang, keseragaman tarian terkadang menjadi salah satu daya tarik tampilan.
Dalam akhir pertunjukan, atau setelah para pemain merasa cukup menarikan kuda-kudaan tersebut, kerap diakhiri dengan pertunjukan atraktif yang mempertontonkan kekuatan. Terkadang, pertunjukan ini banyak menampilkan hal-hal magis, seperti pertunjukan mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Seni ini dipentaskan dalam perayaan khitanan.

0 komentar:

Posting Komentar